Minggu, 17 Juni 2018

Regulasi Sertifikasi Halal Berdasarkan UU no. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia


Gambar terkait
Ilustrasi. Sumber: https://tinyurl.com/y79j5d7n

Salah satu kewajiban dan syariat bagi kaum atau pemeluk agama Islam/Muslim dalam mematuhi perintah Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an dan juga Hadis adalah menerapkan halal dalam kehidupan sehari-hari. Adanya gerakan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang diiringi oleh globalisasi menyebabkan beredarnya produk impor dan ekspor di berbagai negara. Salah satu syarat produk dapat masuk ke negara Indonesia adalah produk tersebut telah tersertifikasi halal. Umat muslim di Indonesia merupakan salah satu populasi terbesar yang ada di Indonesia atau sebesar 87,18% pada tahun 2017 menurut riset yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik di tahun 2018. Halal sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya diperbolehkan, diizinkan, dan dapat diterima. Dalam kehidupan sehari-hari ini, banyak barang-barang yang bersifat haram atau non-halal, baik itu dari hewan, tumbuhan, ataupun mikroba.

Kriteria atau jenis hewan yang tidak halal ketika menjadi daging bila:  
-  Pemotongan hewan tidak disembelih.
-  Belalai gajah.
-  Babi.
-  Alkohol.
-  Hewan karnivora (singa, anjing, serigala, burung pemangsa seperti elang dan burung hantu, ular, hama, dan hewan amfibi).

Sedangkan kriteria atau jenis tumbuhan yang bersifat non-halal:
-  Tumbuhan beracun.
- Hasil fermentasi (dari mikroba) atau hasil proses kimiawi, biologi, dan rekayasa genetika yang tercampur dengan bahan-bahan yang bersifat non halal.x

Salah satu peraturan yang menjadi acuan dalam sertifikasi halal adalah UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Cara melakukan sertifikasi halal di industri pangan:          
1. Perwakilan perusahaan mengikuti penyuluhan atau pelatihan supaya bisa menjamin proses produksi betul-betul halal atau tidak di tempat kerjanya;
2. Melakukan permohonan sertifikat halal oleh pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Bagian ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi adalah:
a. Data pelaku usaha;
b. Nama dan jenis produk;
c. Daftar produk dan bahan yang digunakan; serta
d. Proses pengolahan produk.
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) ditetapkan maksimal 5 hari kerja dari hari permohonan  sertifikat halal diserahkan oleh pelaku usaha.
3. Audit (dilakukan analisis lab produk bila terdapat bahan yang diragukan kehalalannya dan pemeriksaan ke tempat produksi saat proses produksi berlangsung). Bila tidak terpenuhi dilakukan audit atau analisis tambahan, bila terpenuhi lanjut ke proses berikutnya. Hasil pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan bahan diserahkan LPH ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui BPJPH. Hal ini dilakukan karena MUI yang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal yang mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
4.    Bila terpenuhi maka akan disampaikan hasilnya dari MUI ke BPJPH dan sertifikat halal terbit oleh BPJPH dan berlaku selama 4 tahun kecuali terdapat perubahan komposisi pada produk, serta paling lama terbit 7 hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diperoleh dari MUI. Bila tidak terpenuhi, akan dikembalikan permohonan sertifikat halal beserta alasannya ke pelaku usaha.
Bila sudah mendapat sertifikat halal, maka pelaku usaha wajib mencantumkan label halal pada
kemasan produk, bagian tertentu dari produk; dan/atau, tempat tertentu pada Produk. Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. Ketentuan lebih lanjut mengenai label halal diatur dalam Peraturan Menteri. Bila pencantuman label halal tidak sesuai dengan ketentuan dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis; atau
c. Pencabutan sertifikat halal.
Sertifikat halal yang sudah ada wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan sertifikat halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal sebelumnya berakhir. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan sertifikat halal juga diatur dalam Peraturan Menteri. Untuk pelaku usaha tidak perlu khawatir akan terjadinya kebocoran resep karena setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses Jaminan Produk Halal (JPH) wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha. Sekian dari tulisan kali ini, apabila masih ada yang kurang jelas atau ingin menelusuri lebih lanjut mengenai hal-hal yng berkaitan dengan tulisan ini maka dapat melihat di https://tinyurl.com/yaktqhdw terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar