Ilustrasi. Sumber: https://tinyurl.com/y79j5d7n |
Salah
satu kewajiban dan syariat bagi kaum atau pemeluk agama Islam/Muslim dalam
mematuhi perintah Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an dan juga Hadis adalah
menerapkan halal dalam kehidupan sehari-hari. Adanya gerakan Masyarakat Ekonomi
Asia (MEA) yang diiringi oleh globalisasi menyebabkan beredarnya produk impor
dan ekspor di berbagai negara. Salah satu syarat produk dapat masuk ke negara
Indonesia adalah produk tersebut telah tersertifikasi halal. Umat muslim di
Indonesia merupakan salah satu populasi terbesar yang ada di Indonesia atau
sebesar 87,18% pada tahun 2017 menurut riset yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
di tahun 2018. Halal sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya
diperbolehkan, diizinkan, dan dapat diterima. Dalam kehidupan sehari-hari ini,
banyak barang-barang yang bersifat haram atau non-halal, baik itu dari hewan,
tumbuhan, ataupun mikroba.
Kriteria
atau jenis hewan yang tidak halal ketika menjadi daging bila:
- Pemotongan
hewan tidak disembelih.
- Belalai
gajah.
- Babi.
- Alkohol.
- Hewan
karnivora (singa, anjing, serigala, burung pemangsa seperti elang dan burung
hantu, ular, hama, dan hewan amfibi).
Sedangkan
kriteria atau jenis tumbuhan yang bersifat non-halal:
- Tumbuhan
beracun.
- Hasil
fermentasi (dari mikroba) atau hasil proses kimiawi, biologi, dan rekayasa
genetika yang tercampur dengan bahan-bahan yang bersifat non halal.x
Salah satu peraturan yang menjadi acuan dalam sertifikasi
halal adalah UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Cara melakukan
sertifikasi halal di industri pangan:
1. Perwakilan
perusahaan mengikuti penyuluhan atau pelatihan supaya bisa menjamin proses produksi
betul-betul halal atau tidak di tempat kerjanya;
2. Melakukan
permohonan sertifikat halal oleh pelaku usaha secara tertulis kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Bagian ini diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri. Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi adalah:
a. Data pelaku usaha;
b. Nama dan jenis produk;
c. Daftar produk dan bahan
yang digunakan; serta
d. Proses pengolahan produk.
Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH) ditetapkan maksimal 5 hari kerja dari hari
permohonan sertifikat halal diserahkan
oleh pelaku usaha.
3. Audit
(dilakukan analisis lab produk bila terdapat bahan yang diragukan kehalalannya dan
pemeriksaan ke tempat produksi saat proses produksi berlangsung). Bila tidak
terpenuhi dilakukan audit atau analisis tambahan, bila terpenuhi lanjut ke
proses berikutnya. Hasil pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan bahan
diserahkan LPH ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui BPJPH. Hal ini
dilakukan karena MUI yang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa
halal yang mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi
terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
4.
Bila
terpenuhi maka akan disampaikan hasilnya dari MUI ke BPJPH dan sertifikat halal
terbit oleh BPJPH dan berlaku selama 4 tahun kecuali terdapat perubahan
komposisi pada produk, serta paling lama terbit 7 hari kerja terhitung sejak
keputusan kehalalan produk diperoleh dari MUI. Bila tidak terpenuhi, akan
dikembalikan permohonan sertifikat halal beserta alasannya ke pelaku usaha.
Bila sudah mendapat sertifikat halal,
maka pelaku usaha wajib mencantumkan label halal pada
kemasan produk, bagian tertentu dari produk;
dan/atau, tempat tertentu pada Produk. Pencantuman label halal harus mudah
dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. Ketentuan
lebih lanjut mengenai label halal diatur dalam Peraturan Menteri. Bila
pencantuman label halal tidak sesuai dengan ketentuan dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis; atau
c. Pencabutan sertifikat halal.
Sertifikat
halal yang sudah ada wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan
pembaruan sertifikat halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku sertifikat
halal sebelumnya berakhir. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan sertifikat
halal juga diatur dalam Peraturan Menteri. Untuk pelaku usaha tidak perlu
khawatir akan terjadinya kebocoran resep karena setiap orang yang terlibat
dalam penyelenggaraan proses Jaminan Produk Halal (JPH) wajib menjaga
kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku
usaha. Sekian dari tulisan kali ini, apabila masih ada yang kurang jelas atau
ingin menelusuri lebih lanjut mengenai hal-hal yng berkaitan dengan tulisan ini
maka dapat melihat di https://tinyurl.com/yaktqhdw terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar