|
Ilustrasi. Sumber: https://tinyurl.com/yacrteta |
Dunia
perindustrian sedang berkembang pesat di Indonesia. Dunia perindustrian juga
menyokong perekonomian bangsa dan negara. Salah satu aspek yang berpengaruh
terhadap kemajuan perindustrian adalah tenaga kerja. Dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Pembangunan nasional yang sukses
dapat dilihat dari masyarakatnya yang sejahtera, adil, makmur, berkehidupan
merata, baik materiil maupun spiritual yang dasarnya Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan peranan
dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan keikutsertaannya dalam pembangunan,
serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan dimaksud dilakukan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memerhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha.
Indonesia
sendiri seperti yang kita sudah tahu adalah negara hukum. Maka dari itu sudah
selayaknya dan sepantasnya seorang pengusaha tahu menahu mengenai UU
ketenagakerjaan. UU ketenagakerjaan sendiri diatur dalam Undang-Undang no 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada bahasan kali ini saya akan membahas
secara garis besar tentang waktu kerja, upah, dan sistem PHK.
Dalam sebuah perusahaan pasti ada peraturan
perusahaan yang sekurang-kurangnya memuat:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan
perusahaan.
Waktu kerja yang ditetapkan:
a.
7
(tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Namun,
waktu-waktu kerja di atas tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan
tertentu dan diatur dengan Keputusan Menteri. Bila ingin mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja di atas harus ada persetujuan pekerja/buruh
yang bersangkutan dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Bila itu diberlakukan, pengusaha wajib membayar upah kerja lembur. Sama seperti
waktu kerja, waktu lembur di atas tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu dan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pengusaha juga wajib memberi waktu istirahat
dan cuti kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat ditempatkan antara jam kerja
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak dihitung sebagai jam kerja. Pada
istirahat mingguan juga diberlakukan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu. Untuk cuti tahunan, sekurangkurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus. Ketika pekerja sudah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara
terus-menerus pada perusahaan yang sama (dengan ketentuan pekerja/buruh
tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun
berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam)
tahun) dapat melakukan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan. Hal
ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Hak istirahat panjang juga hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja
pada perusahaan tertentu yang diatur dengan Keputusan Menteri.
Pengusaha
wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Untuk pekerja/buruh
perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha,
tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Dalam Undang-Undang ini juga diatur
mengenai:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena
berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu
istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang
proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak
penghasilan.
Untuk upah minimum sendiri dapat
dikelompokkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota atau
sector-sektor di dalamnya yang ditetapkan oleh Gubernur dengan memerhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pengusaha dilarang membayar upah lebih
rendah dari upah minimum (bila tidak mampu dapat dilakukan penangguhan yang
diatur dalam Keputusan Menteri). Struktur dan skala upah (diatur dalam
Keputusan Menteri) didasari oleh golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan
kompetensi. Peninjauan upah juga dilakukan secara berkala dengan memerhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitasnya.
Namun, upah tidak dibayar apabila
pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Tetapi, upah tetap dibayar bila
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit
pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja
karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya,
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau
menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena
kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak
istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas
serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas
pendidikan dari perusahaan.
Upah yang dibayarkan kepada
pekerja/buruh yang sakit sebagaimana yang telahdisebutkan di bagian atas adalah
sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama,
dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua,
dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga,
dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25%
(dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan
oleh pengusaha.
Upah yang dibayarkan kepada
pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana yang telah disebutkan pada
poin c (bagian upah dibayar bila….) di atas :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar
untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau
anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Hal-hal di atas juga diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara si pekerja/buruh dan si pengusaha. Sistem PHK tidak
serta merta langsung memutus hubungan kerja yang bersangkutan, namun ada
beberapa proses yang harus dilewati, yaitu pertama-tama dilakukan perundingan
yang dilakukan oleh pekerja, pengusaha, dan perserikatan kerja. Bila diperlukan
pemerintahan dapat turut andil dalam berunding seputar PHK. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya PHK. Setelah itu, jika tidak menemukan jalan keluar
maka Lembaga Perselisihan Perburuhan akan menentukan apakah PHK terjadi atau
tidak. Lembaga tersebut wajib mengeluarkan izin agar PHK dapat terlaksana. Jika
tidak ada izin, PHK tidak boleh dilakukan. Bila PHK sudah terjadi maka
ketentuan pesangon dapat dilihat dari waktu kerja karyawan yang terkena PHK.
Bila terdapat masalah ada dua lembaga
kerja yang dapat diikutsertakan dalam penyelesaian masalah:
a.
Lembaga
kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh. Lembaga bipartit biasanya berada dalam internal perusahaan.
b.
Lembaga
kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. Lembaga tripatrit
melibatkan pihak eksternal seperti pemerintah dan harus ada bukti sudah melakukan
bipartit terlebih dahulu.
Ada beberapa istilah di atas yang
mungkin belum diketahui, berikut adalah definisinya
1.
Perjanjian
kerja bersama merupakan perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat
kerja, hak (cuti, gaji dll) dan kewajiban (jam kerja dll). Perjanjian ini harus
disetujui oleh kedua belah pihak.
2.
Peraturan
perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
3.
Perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Sekian untuk tulisan
kali ini. Jika ingin lebih jelas maka dapat melihat UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di https://tinyurl.com/ybct34zm