Sabtu, 03 November 2018

Catatan Sejarah Kedaulatan Pangan, Bagaimana dengan Indonesia?

Ilustrasi. Sumber: https://tinyurl.com/ycgry9k6
Perdebatan mengenai “Kedaulatan Pangan” akhir-akhir ini menjadi peristiwa yang sedang hangat didiskusikan terutama perubahan politik yang memengaruhi pergerakan pangan (food movements). Perdebatan ini dipicu oleh istilah kedaulatan pangan dan perkembangan pergerakan pangan. Gerakan kedaulatan pangan memiliki kewajiban untuk memperluas arti kedaulatan bukan hanya sebagai pemenuhan hak seseorang untuk mengonsumsi dan memproduksi makanan, namun juga memperhatikan hubungan yang melekat antara perbaikan sistem pangan tradisional serta perbaikan budaya, sosial, dan politik masyarakat pribumi.
Pada tahun 1996, sebuah koalisi internasional para petani miskin, petani, perempuan pedesaan dan penduduk pribumi berkumpul di Tlaxcala, Meksiko untuk membahas keprihatinan mereka bersama mengenai dampak dari sistem pertanian pangan yang semakin mengglobal dan memengaruhi mata pencaharian, komunitas dan ekologi mereka. Kelompok-kelompok ini akhirnya bergabung dan membentuk suatu gerakan sosial yaitu "La Via Campesina" yang sekarang menjadi salah satu gerakan sosial terbesar dan paling bersemangat di dunia. Arti kedaulatan pangan dikemukakan oleh gerakan petani internasional yaitu La Via Campesina. Berdasarkan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Pangan Dunia yang dilaksanakan di Roma, dimana kedaulatan pangan adalah rakyat, negara, maupun Negara bagian. Kedaulatan pangan meliputi:
  1. Memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan orang-orang, akses petani dan orang-orang tanpa lahan untuk tinggal, air, benih, dan kredit. Oleh karena itu perlunya reformasi tanah, untuk melawan GMO (Genetically Modified Organisms), untuk akses gratis mendapatkan benih, dan untuk menjaga air sebagai kepemilikan publik untuk dapat didistribusikan secara berkelanjutan.
  2. Hak petani, petani untuk menghasilkan makanan dan hak konsumen untuk dapat memutuskan apa yang mereka konsumsi, dan bagaimana serta oleh siapa itu diproduksi.
  3. Hak negara untuk melindungi diri dari rendahnya harga-harga impor dari hasil produk pangan dan pertanian.
  4. Harga-harga pertanian yang terkait dengan biaya produksi. Hal ini dapat dicapai jika Negara berhak untuk mengenakan pajak atas impor yang terlalu murah, jika mereka berkomitmen untuk mendukung produksi pertanian yang berkelanjutan, dan jika mereka mengendalikan produksi di pasar dalam sehingga menghindari surplus struktural.
  5. Masyarakat atau populasi yang mengambil bagian dalam memilih kebijakan pertanian.
  6. Pengakuan hak petani perempuan, yang memainkan peran utama dalam produksi pertanian dan makanan.
Pada tahun 2007, diadakan kembali forum internasional mengenai kedaulatan pangan di Nyeleni, Mali yang mendefinisikan kedaulatan pangan sebagai hak masyarakat atas makanan yang sehat, layak dan secara budaya diproduksi secara ekologis menggunakan metode yang berkelanjutan dan merupakan hak mereka untuk mendefinisikan makanan dan sistem pertanian mereka sendiri. Hal ini menempatkan aspirasi dan kebutuhan mereka untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi makanan sesuai dengan sistem dan kebijakan pangan sendiri daripada mengikuti permintaan/tuntutan pasar dan perusahaan. Hal ini dilakukan untuk membela kepentingan dan inklusi generasi berikutnya. Hal ini juga menawarkan strategi untuk melawan dan membongkar perdagangan perusahaan dan sistem pangan neoliberal dan arahan untuk mengutamakan sistem pertanian, perikanan yang ditentukan oleh produsen dan pengelola lokal. Kedaulatan pangan memprioritaskan ekonomi pasar lokal dan nasional, memberdayakan petani dan keluarga pertanian, dan melakukan produksi, distribusi dan konsumsi pangan berdasarkan kelestarian lingkungan, sosial dan ekonomi. Kedaulatan pangan mempromosikan perdagangan transparan yang menjamin pendapatan bagi semua orang dan hak-hak konsumen untuk mengendalikan makanan dan gizi mereka sendiri. Ini juga meliputi hak untuk menggunakan dan mengelola tanah, wilayah, perairan, benih, ternak, dan keanekaragaman hayati dikendalikan dan berada di tangan kita yang menghasilkan makanan. Kedaulatan pangan juga menyiratkan sebuah hubungan sosial baru yang bebas dari penindasan dan ketidaksetaraan antara pria dan wanita, masyarakat, kelompok ras, sosial dan ekonomi, kelas, dan generasi.
Kedaulatan pangan merupakan hasil dari musyawarah dan juga gabungan teori-teori yang ada. Kedaulatan sendiri sampai saat ini belum terealisasi dengan baik karena adanya pengaruh kapitalisme. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pergerakan kedaulatan pangan secara terus-menerus. Kapitalisme mempunyai kuasa dan struktur sendiri terhadap masyarakat pribumi yang menyangkut pemerataan tanah (setiap tanah telah dikuasai oleh para kapitalis dengan variasi pemerataan tanaman yang sama), masalah kesetaraan peran gender antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan berat perempuan menjadi tidak proporsional, dan juga modifikasi genetik tanaman. Tetapi yang menjadi perhatian adalah masalah gender, dimana terjadi pergeseran hak-hak perempuan. Perempuan pribumi telah menyuarakan niat mereka untuk berpartisipasi dalam menghidupkan kembali tradisi, serta ingin ambil bagian dalam mencapai kedaulatan pangan.
Masyarakat pribumi tidak boleh menerima atau pasrah terhadap sistem yang dijalankan kapitalis, tetapi di sisi lain harus mempertahankan sistem budaya yang mereka miliki. Kedaulatan pangan pribumi merupakan bagian dari sejarah antikolonialisme. Kesadaran akan perubahan besar mengenai kedaulatan pangan sebagai aktivitas dari dekolonisasi menunjukkan perlunya riset yang lebih mendalam di masa depan. Gaya kapitalis yang menyangkut hubungan politik dan liberal kurang cocok diimplementasikan dalam kedaulatan pangan. Penulis telah mengetahui bahwa terdapat argumen-argumen mengenai paham kedaulatan masyarakat pribumi yang bertentangan dengan liberal democratic capitalis state yaitu penerapan liberal demokrasi tidak cocok dengan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pribumi.
Di Indonesia, pemerintahan Jokowi mulai bergerak mencapai kedaulatan pangan yang dikemas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Hal yang melandasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam RPJMN dijelaskan mengenai kedaulatan pangan yang merupakan agenda prioritas nasional. Kedaulatan pangan dijabarkan sebagai bentuk kemampuan dalam mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, pengaturan kebijakan pangan oleh bangsa sendiri, peningkatan kemampuan untuk melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan terutama petani.

Target Jokowi berbeda pada masa pemerintahan Soeharto, yaitu dapat memenuhi pangan lokal sendiri sehingga tidak ada impor. Visi tersebut juga didukung oleh SPI. Pada tahun 2014, anggaran untuk program kedaulatan pangan mencapai Rp 67,3 triliun. Tahun 2017 meningkat hingga 53,2 persen menjadi Rp 103,2 triliun. Terdapat komoditas impor pangan yang berhasil ditekan yaitu jagung dari 3,6 juta ton tahun 2015 menjadi 900.000 ton tahun 2016. Namun kebijakan ini menimbulkan berbagai permasalahan lain seperti meningkatnya harga jagung dalam negeri karena adanya beban logistik yang meningkat untuk mencapai kedaulatan pangan. Maka dari itu, kebijakan-kebijakan Jokowi mengenai kedaulatan pangan belum membawa Indonesia pada kedaulatan pangan yang permanen. Sekian untuk tulisan kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar