Ilustrasi. Sumber: https://tinyurl.com/ybcwtfox |
Peningkatan populasi global secara cepat dan urbanisasi mengakibatkan meningkatnya permintaan akan lahan, sumber daya, dan pangan, yang mana prosesnya menghasilkan gas emisi rumah kaca tinggi. Peningkatan permintaan yang tidak diseimbangi dengan pasokan sumber daya dan ditambah perubahan kondisi lingkungan menyebabkan produksi makanan lebih sulit atau tidak dapat diprediksi. Hal tersebut membuat sebuah urgensi yaitu penataan ulang sistem pangan untuk dapat menghasilkan pangan yang lebih mencukupi dengan beban lingkungan yang minim. Terdapat 3 perspektif yang berkaitan dengan keberlanjutan sistem pangan. Setiap perspektif mencerminkan konsep yang berbeda mengenai apa yang mungkin dipraktekkan dan tidak. Selain itu, setiap perspektif mendukung nilai dan ideologi yang berbeda akan peran teknologi, hubungan manusia dengan alam, dan pemaknaan fundamental mengenai hidup yang baik.
Efficiency Oriented
Efisiensi dapat dikatakan sebagai pendekatan yang paling dominan dengan diasumsikan bahwa ketahanan pangan merupakan tanggung jawab pemasok dalam memproduksi lebih banyak makanan demi memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar dengan dampak lingkungan yang rendah. Pemenuhan permintaan dapat dibantu dengan perkembangan teknologi dan manajerial sehingga proses produksi menjadi lebih ramah lingkungan dan menghasilkan produk yang lebih bernutrisi. Sebagai contoh pada tahap post harvest, emisi dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi refrigerasi, manufaktur, dan transportasi yang lebih efisien energi, atau menggunakan sumber-sumber energi yang terbarukan. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menganalisis dampak lingkungan dari siklus hidup produk adalah Life Cycle Assessment (LCA) atau Penilaian Siklus Hidup yang saling berkaitan dengan pendekatan efisiensi.
Demand Restraint
Fokus perhatian pada perspektif ini adalah pada konsumen. Perspektif ini meyakini bahwa konsumsi berlebih oleh konsumen merupakan penyebab utama terjadinya krisis lingkungan yang sedang dihadapi. Pembatasan konsumsi makanan menjadi prioritas utama karena memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan. Fokus kemudian bergeser pada produk hewani yang dilihat sebagai makanan dengan beban berat terhadap lingkungan (tanah/lahan, air, biodiversitas) dan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca. Pada pendekatan ini, LCA digunakan dalam demand restraint untuk mengetahui kebiasaan konsumsi yang dapat mendorong produksi. Ternak bukan hanya merupakan faktor utama penyebab gas rumah kaca, melainkan juga perubahan penggunaan lahan, penebangan hutan, perubahan biodiversitas, serta peningkatan obesitas dan penyakit kronis. Perspektif ini beranggapan bahwa terdapat cukup makanan bagi semua manusia tanpa harus meningkatkan produksi. Masalah yang ditekankan adalah cara untuk mengatasi distribusi makanan yang tidak sama rata dan pola konsumsi yang menggunakan banyak sumber daya, akan tetapi analisis dalam mengatasi hal tersebut masih kurang memadai. Sebagai contoh, pemberian biji-bijian sebagai pakan ternak dianggap sebagai “pemborosan” karena akan lebih efisien jika biji-bijian tersebut dikonsumsi langsung oleh manusia, meskipun beberapa berargumen bahwa dinamika harga komoditas global juga dapat memengaruhi ketersediaan dan kemampuan beli masyarakat terhadap pangan.
Food System Transformation
Pendekatan ini mempertimbangkan produksi dan konsumsi sebagai satu kesatuan yang memengaruhi sistem pangan. Produksi dan konsumsi secara bersamaan dikaitkan dengan ketidakseimbangan yang menyebabkan masalah kelebihan dan kekurangan di lingkungan (aplikasi agrikultural yang berlebihan atau kekurangan) dan dalam bidang kesehatan (obesitas dan kelaparan). Argumen utama dalam perspektif ini yaitu masalah yang dihadapi sekarang merupakan masalah sosial ekonomi, bukan hanya sekedar masalah teknis atau konsekuensi dari keputusan individu. Menurut perspektif ini, dalam mencapai tujuannya, tanggung jawab tidak dibebankan pada individu, melainkan pada sistem. Metode LCA pada pendekatan ini memiliki limitasi karena metrik sederhana yang digunakan untuk menilai dampak atau perkembangan dari sistem pangan tidak dapat menginterpretasi hubungan berbagai komponen dalam sistem pangan. Sebagai contoh dalam bidang agrikultur, ukuran kg CO2 eq/kg produk tidak dapat menggambarkan keberhasilan dari suatu sistem berkaitan dengan dampak lingkungan. Contoh lain dari limitasi LCA adalah tidak memperhitungkan adanya kemungkinan para petani untuk pindah ke daerah lain atau melakukan pembelian eksternal yang memberikan dampak lingkungan baru karena sistem pertaniannya tidak bertahan. Ketersediaan satu teknologi dapat membebankan penggunaan teknologi lain. Hal ini menyebabkan terjadinya ketergantungan energi dalam rantai pasok makanan. Sebagai contoh penggunaan truk dengan sistem refrigerasi untuk distribusi produk mampu memperpanjang rantai pasok makanan, tetapi dapat meningkatkan penggunaan energi. Tantangan lebih lanjut yang dihadapi oleh LCA dalam perspektif ini yaitu dari segi otonomi manusia dan tanggung jawab moral. Sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dilihat berdasarkan seberapa kuat hubungan antar individu dan antar negara; identitas budaya; dan perkembangan yang memberikan kemajuan. Pada perusahaan besar maupun kecil, kerangka kerja pemerintah yang mengatur produksi dan konsumsi akan mempengaruhi sejauh mana pemanfaatan lahan.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto) pada tahun 2017 adalah sekitar 5% dan ditargetkan menjadi 5,4% pada tahun 2018 (BPS, 2018). Indonesia mengalami beberapa kendala, seperti malnutrisi, penggunaan lahan yang merugikan, distribusi yang terhambat, target yang terlalu ambisius, peraturan yang “meleset”, serta demografi yang kian berubah dan menguntungkan salah satu kelas ekonomi saja. Angka malnutrisi di Indonesia cukup tinggi namun di saat yang sama memiliki angka obesitas yang juga tinggi. Lahan yang tersedia untuk agrikultur di Indonesia pun cenderung digunakan untuk menanam tumbuhan seperti kelapa sawit, yang bukan merupakan tumbuhan pangan dan tidak berkontribusi pada ketahanan pangan, sehingga meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap impor.
Berdasarkan Indeks Keberlanjutan Pangan (FSI), Indonesia berada pada peringkat ke-24 dari 34 negara (BCFN, 2017) yang berarti Indonesia harus berupaya untuk mengatasi masalah kehilangan dan limbah pangan (food loss and food waste). Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan yang ada dan nilai FSI tersebut, akan lebih sesuai apabila Indonesia sekarang condong ke perspektif demand restraint yang membatasi jumlah konsumsi dan menekankan distribusi yang lebih baik, dan/atau perspektif transformasi untuk mengetahui dan mengatasi permasalahan yang ada pada sistem pangan Indonesia. Sekian untuk tulisan kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar